Masih tentangmu, bun
Di Agustus yang murung ini
Sejarah adalah hal asing
Yang gampang berbohong
Dan mudah dilupakan.
Di sini
Kita tak lagi bisa membedakan
Yang mana barisan dan yang mana antrian.
Upacara tak lebih dari kewajiban beribadah
Dalam agama.
Berpura-pura hormat dan sedih
Sesudah itu dilupakan
Dan menikam satu sama lain.
Masih tentangmu, bun
Kita yang bermula dari kata
Kata yang lahir karena rindu
Rindu yang risau karena dirampas orang lain.
Tak ada yang diwariskan atas kelahiran
Kecuali makam bagi masa laluku
Dimana aku menimbun kemiskinan dan kesakitan
Anak-anakku.
Aku dilahirkan untuk dilupakan
Karena sejarah tak pernah mengajariku
Bertutur yang benar.
Sudah berapa nyawa kupanggul
Untuk menebus hutang-hutangku.
Sudah berapa doa yang mereka kirimkan
Tapi selalu gagal dipanjatkan.
Sebab Tuhan
Yang biasa mereka ucapkan
Tak juga ditemukan.
Lantas apa yang mereka dengungkan
Ketika malam berjaga-jaga di hati mereka?
Bun, hidup tak lebih dari serangkaian usia
Sudah itu kita pergi dan tak saling kenal.
Bukankah kematian
Serupa ingatan buruk untuk kenangan.
Ya, bun,
Mengingat untuk melupakan
Adalah hal paling mudah kita bawa
Untukmu
Untuk kemarau di lambungku.
Jogja, 2008
Puisi ini diilhami dari lukisan “The Sign # 1” karya Ediohead.
Senin, 01 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
4 komentar:
Weit..sua kata-kata yang tertata di sini. indah.
Tabik,
Ndari
trimikasih.........sudah berkumjumg
"Bukankah kematian
Serupa ingatan buruk untuk kenangan."
baca ini saya jadi merinding..
salam
jangan merinding dungs karena kita semua mempelai kematian....tetap tersenyum dan semangat. salam
Posting Komentar