Rabu, 07 Januari 2009

Resque Tahun Baru

Toottt......toottt.....toottt....horeeee...horeee....

Hehehe.......toottt...tootttt.....tooott....horeee...

Hehehe......gruung.....gruung......horeeee......

Horeee......horeeee..........toottt...toottt....

Masa kontrak kita di dunia berkurang....!!!!

Horeeeee......horeeee.....toottt...toottt.....

Horeee.....horeeee......hehehe.........


Sanggar Suto, 2009

Suluk Gusti

Cep jirep sirep madep ya jatinu ingsun

ing cahyane Gusti kang agung

bismillah ya Alloh

cep jirep sirep madep ya jatine ingsun

ingsun kang lebur ing cahya jatine cahya

Gusti ya bismillah cep jirep sirep madep

ingsun sapa ingsun

jatine wengi jatine awan jatine cahya

jatine bumi jatine langit jatine jagat

ya Allohu Alloh

ingsun madep ing pangadepan cahyaMu

ingsun manjing ing cahyaMu

lesap ing cahyaMu

ingsun sapa ingsun

Hu ya Alloh

Hu ya Rahman

Hu ya Rohim

Hu Alloh

Hu.


Siapa bertanya pada siapa

Jagat di luar jagat di badan

Siapa bertanya pada siapa

Malam menggiring sunyi pada rindu

Siapa rindu siapa

Pagi menggiring matahari

Siapa bekerja pada siapa

Siapa bicara pada siapa

Diri jadi lupa jadi diri

Malam dikepung sunyi

Malam dikepung diri

Kataku kamu katamu aku

Siapa aku siapa kamu

Mu ya Gusti

Mu ya Alloh

Dalam bayanganMu

Dalam sarung cahyaMu

Aku sirna digulung sepi

Digulung diri jadi debu

Dipecah angin jadi rindu

Rindu siapa siapa rindu

Debu menulis rindu

Rindu menulis debu

Siapa menulis siapa

Siapa ditulis siapa

Mu ya Gusti

Mu ya Alloh

Alloh.


Aku hilang jadi bayang

Diadili sepi yang Gusti

Diri jadi biasa

Diri jadi siapa

Ya Gusti ya Alloh

Sesatkan aku di jalanMu

Penjarakan aku dalam cahyaMu

Ya Gusti ya Alloh

Ya engkau ya aku

Ya Gusti ya Alloh

Ya siapa ya kita

Ya Gusti ya Alloh

Ya Alloh

Alloh

Hu.


Jogja, 10-14 Ramadlan 1429 H

Hijib Khafi

Bacalah atas nama Tuhanmu

Bacalah setiap tujuh lapis tubuhmu

Bacalah setiap tujuh lapis hatimu.


Pandanglah gugur daun yang diantarkan angin. Dengan pelan-pelan berucap pada bumi: ”Di sinilah kematian dan kelahiran tumbuh dan binasa.”

Matahari berkemas mengawini bulan. Sementara kita sibuk menghitung isyarat.

Dan tanah berucap lewat tumbuhan: ”Segala yang busuk dan yang baru diciptakan di sini. Tapi orang kerap kali lupa denganku.”


Mimpi kita dikepung malam. Kita terperangkap sepi di sini.

”Hei, kitakah itu yang sibuk menghianati kata-kata atau kata-kata cara berbohong yang sempurna?”

”Bukan kita! Tapi dia. Dialah yang diikuti orang-orang dungu itu!”

”Sama saja! Kita sama-sama penyair. Bukankah setiap penyair diikuti orang-orang yang dungu?”

”Tidak semua. Kita termasuk yang kecuali.”

”Tidak. Kita memang selalu memilih yang baik. Tapi ucapan kita tak sesuai dengan tindakan kita.”

”Bukan kita! Tapi kau! Aku dan kau!”

”Sama saja.”

”Kau selalu menyama-nyamakan.”

”Kau selalu membeda-bedakan.”

”Kau gila!”

”Kau yang gila!”

”Iblis jahannam!”

”Kau yang Iblis jahannam!”

”Bangsat!”

”Bukan! Aku Malaikat.

Dan sepi kembali tiba.


Bacalah atas nama Tuhanmu

Bacalah setiap tujuh lapis tubuhmu

Bacalah setiap tujuh lapis hatimu.


Kita sibuk membenarkan alarm. Membenahi malam yang sobek oleh hujan. Di sini kita pernah bersaksi tentang luka tentang kata-kata yang cerewet di genting rumah. Kemudian puisi setengah masak kita kunyah seperti kita batalkan puasa pada sepertiga hari. Dan segenap ludah kata-kata yang kita hisap kembali.


Kita bicarakan maut. Sebagaimana kebijakan dan kebajikan yang kita teriak-teriakkan. Sebagaimana sebilah sajak yang akan membunuh dan mengalamatkan kematian kita.


Kitalah lelucon kata-kata. Puisi yang tak pernah kenal muasalnya. Berputar dan terus berputar seperti bumi dan galaksi. Seperti saat orang terdahulu memberitakannya.


Bacalah atas nama Tuhanmu

Bacalah setiap tujuh lapis tubuhmu

Bacalah setiap tujuh lapis hatimu.


Mata kita yang palsu menerjemahkan hidup. Sebab hati telah ingkar dari rahimnya. Sebelum tangis pertama meledak di telinga ibu mereka.


”Kitakah yang selalu sibuk menerjemahkan isyarat?”

”Bukan kita. Tapi kau!”

”Sama saja. Kata dan makna yang kita garitkan di dada telah lenyap. Sebagaimana tanah yang telah melahirkan kita lewat lorong para ibu. Seperti bahasanya yang ditulis tumbuhan.”

”Itu kau!”

”Kau selalu menghindar.”

”Tak ada kata yang kutulis tanpa makna.”

”Kau benar. Tapi jika makna sudah tak berkata, apa masih disebut makna?”

”Masih.”

”Makna yang berbohong pada rahimnya.”

”Diam! Kau selalu menyudutkanku.”

”Tidak! Aku membenarkanmu.”


Bacalah atas nama Tuhanmu

Bacalah setiap tujuh lapis tubuhmu

Bacalah setiap tujuh lapis hatimu.


Masih adakah ke-ber-ada-an setelah kita tiada? Kitalah saksi pertama dari kehidupan. Kitalah saksi dari keberadaan: yang tumbuh lalu menguncup, setelah kuncup lalu mekar, setelah mekar lalu gugur, setelah gugur dan menguncup lagi, mekar lagi, gugur lagi, dan seperti hari-hari yang sebenarnya membuat kita terpencil dari kenyataan.


Bacalah atas nama Tuhanmu

Bacalah setiap tujuh lapis tubuhmu

Bacalah setiap tujuh lapis hatimu.


Kemanakah hilangnya hari kemarin? Ketika pertama matahari memecah jendela mata kita yang masih lekat dengan sisa-sisa mimpi semalam—kemanakah ruh kita mengembara?— kemanakah kesadaran kita ketika tidur? Ketika kita pun mengabur pada batas ruang dan waktu.


Bacalah atas nama Tuhanmu

Bacalah setiap tujuh lapis tubuhmu

Bacalah setiap tujuh lapis hatimu.


Isyarat apa yang kita siratkan sedang kita sendiri tak kenal isyarat yang diberitakan jantung: menghirup dan mengeluarkannya lagi. Berputar seperti bumi dan galaksi. Seperti tasbih yang kita putar setiap hari.


Kita rasakan udara keluar-masuk dari tubuh. Meninggalkan jejak kembara. Kelak kita merasakannya, saat tulang kita mulai bungkuk karena banyak menampung kisah yang basah oleh hujan dan kemarau yang mengeringkan usia kita di musim yang lalu. Dan mimpi kita yang pasang, ditarik ombak ke tengah laut yang fana.


Kita berharap ada perahu yang menyambangi gelombang kata-kata yang pecah di perahu kita. Tapi semua mengapung sempurna. Pada saat seperti itu, kau ingin tambatkan perahumu ke daratan.

”Bukan kau! Tapi kita”

”Tapi ini kau?!”

”Ini kita.”

”Kau selalu memilih yang enak-enak saja.”

”Dan kau selalu menyudutkanku!”

”Itu tidak benar!”

”Itu yang selalu terjadi.”

”Karena aku lebih dekat dari pikiranmu sendiri.”

Dan pada saat seperti itu, semua orang sibuk dengan layang-layangnya di bibir pantai.

Bacalah atas nama Tuhanmu

Bacalah setiap tujuh lapis tubuhmu

Bacalah setiap tujuh lapis hatimu.


Pernahkah kita meyakini suatu kebenaran yang nyatanya salah? Mungkinkah mata mengajarkan kebohongan? Hati yang kita garitkan dalam puisi ternyata merekam kepalsuan lain pada keterbatasan jarak di pupil mata kita. Maka kita baca malam dan siang pada tebaran cahaya dan kumpulan gelap adalah kita bermukim di dalamnya. Menyerupai batu yang berlumut dirayapi hujan dan udara. Dan cuaca yang mangkir di hati kita.


Sanggar Suto, 5 februari 2007

Ayat-ayat Khafi

Musim semi hanya sekali dalam cinta. Ketika kemarau mematahkan tangkai-tangkai cuaca. Kau pandang seekor kumbang tergelincir dari atas bunga-bunga. Demikian engkau katakan seseorang tak lebih dari mencintai dirinya sendiri dan kau lihat burung terbang meninggalkan sarang mencari makan bagi anak-anaknya.


Beberapa daun kering gugur dikibaskan sayap kemarau. Kutemukan engkau dalam desahnya yang panjang. Bulan menjaring malam dalam kelam. Kau cari-cari—mata inilah yang menciptakan gelap. Tapi siapa yang telah mengadakan cahaya.


Sesaat angin mengangkut wewangian ke jantungmu, tapi kau tak pernah merasakan wangi kecuali nyeri di dadamu. Pun segala yang tumbuh harus mati demikian udara tak selamanya menghidupkan. Kebathilan tak selamanya lahir dari kesalahan.


Nafasmu patah dalam doa diangkut ribuan gagak. Tinggal dingin yang terasing dari kata-kata. Kau sebut nama Tuhanmu pelan-pelan. Kau bisikan cinta dalam setiap rahim perempuan. Ruh siapa ditiupkan dalam tubuhmu dan siapa yang telah membunuhnya kemarin malam. Dzikir siapa menggema menjelma kunang-kunang di atas batu nisan.


Kau kumpulkan nama-nama yang meranggas dari hatimu. Kau kirim air talkin. Siapa saja yang telah menaruh wangi. Tak ada kau temukan kecuali potretmu yang pasi. Kau lupa dirimu lalu siapa yang kau sebut dalam setiap dzikirmu.


Kau ingat sebelum engkau lahir, siapa yang telah mengajarkan cinta. Siapa yang telah menaruh warna dan wangi pada bunga. Tapi setelah turun ke dunia kau terlupa. Kitab siapa yang terlebih dulu kau baca sedang kau tak tahu lahir sebagai apa.


Bacalah dalam bayangan surat-surat langit. Pada setiap halaman tubuhmu. Pada setiap pintu-pintu cahaya. Kelak airmatamu akan menjelma selaksa kupu-kupu yang lahir dari bunga-bunga dan rusukmu menjelma sayap yang menembus ars.



Sanggar Suto, 2006

Rindu Melompat dan Teotteblungteotteblung

Hujan pun hilang dalam malam

Katak-katak melompat dan bersuara

Teotteblungteotteblung

Seperti memanggil-manggil namamu.


Cicak merayap mencari mangsa di dinding

Jaring laba-laba menumpuk di sudut-sudut kamar

Dengan lampu 10 watt.

Sepi meraung-raung dalam sukma

Berklebatan wajahmu di kaca.


Dan kutangkap-tangkap wajahmu yang licin

Tertangkap juga sunyiku yang dingin.


Senin, 01 September 2008

Surat Buat Bunda

Masih tentangmu, bun
Di Agustus yang murung ini
Sejarah adalah hal asing
Yang gampang berbohong
Dan mudah dilupakan.

Di sini
Kita tak lagi bisa membedakan
Yang mana barisan dan yang mana antrian.
Upacara tak lebih dari kewajiban beribadah
Dalam agama.
Berpura-pura hormat dan sedih
Sesudah itu dilupakan
Dan menikam satu sama lain.

Masih tentangmu, bun
Kita yang bermula dari kata
Kata yang lahir karena rindu
Rindu yang risau karena dirampas orang lain.

Tak ada yang diwariskan atas kelahiran
Kecuali makam bagi masa laluku
Dimana aku menimbun kemiskinan dan kesakitan
Anak-anakku.

Aku dilahirkan untuk dilupakan
Karena sejarah tak pernah mengajariku
Bertutur yang benar.
Sudah berapa nyawa kupanggul
Untuk menebus hutang-hutangku.
Sudah berapa doa yang mereka kirimkan
Tapi selalu gagal dipanjatkan.
Sebab Tuhan
Yang biasa mereka ucapkan
Tak juga ditemukan.
Lantas apa yang mereka dengungkan
Ketika malam berjaga-jaga di hati mereka?

Bun, hidup tak lebih dari serangkaian usia
Sudah itu kita pergi dan tak saling kenal.
Bukankah kematian
Serupa ingatan buruk untuk kenangan.
Ya, bun,
Mengingat untuk melupakan
Adalah hal paling mudah kita bawa
Untukmu
Untuk kemarau di lambungku.

Jogja, 2008

Puisi ini diilhami dari lukisan “The Sign # 1” karya Ediohead.

Di Jalan Pelepasan

Tak ada yang dibicarakan
Selain ketakutan dan kecemasan.
Jalanan yang sibuk
Trotoar yang hibuk
Menyimpan kisah kita diam-diam.

Bau parfummu masih nempel di kamarku
Mengepung sepi yang ribut di kepalaku.
Tubuhmu diangkut kenangan
Di awal musim dingin
Yang menjatuhkan daun-daunnya di hatiku.
Sementara ladang kita becek oleh masa silam
Yang bikin kita jadi cengeng dan malas pulang.

Mari, istirahatlah sejenak di sini!
Di kalbu kita yang sama olengnya.

Jogja, 2008