Masih tentangmu, bun
Di Agustus yang murung ini
Sejarah adalah hal asing
Yang gampang berbohong
Dan mudah dilupakan.
Di sini
Kita tak lagi bisa membedakan
Yang mana barisan dan yang mana antrian.
Upacara tak lebih dari kewajiban beribadah
Dalam agama.
Berpura-pura hormat dan sedih
Sesudah itu dilupakan
Dan menikam satu sama lain.
Masih tentangmu, bun
Kita yang bermula dari kata
Kata yang lahir karena rindu
Rindu yang risau karena dirampas orang lain.
Tak ada yang diwariskan atas kelahiran
Kecuali makam bagi masa laluku
Dimana aku menimbun kemiskinan dan kesakitan
Anak-anakku.
Aku dilahirkan untuk dilupakan
Karena sejarah tak pernah mengajariku
Bertutur yang benar.
Sudah berapa nyawa kupanggul
Untuk menebus hutang-hutangku.
Sudah berapa doa yang mereka kirimkan
Tapi selalu gagal dipanjatkan.
Sebab Tuhan
Yang biasa mereka ucapkan
Tak juga ditemukan.
Lantas apa yang mereka dengungkan
Ketika malam berjaga-jaga di hati mereka?
Bun, hidup tak lebih dari serangkaian usia
Sudah itu kita pergi dan tak saling kenal.
Bukankah kematian
Serupa ingatan buruk untuk kenangan.
Ya, bun,
Mengingat untuk melupakan
Adalah hal paling mudah kita bawa
Untukmu
Untuk kemarau di lambungku.
Jogja, 2008
Puisi ini diilhami dari lukisan “The Sign # 1” karya Ediohead.
Senin, 01 September 2008
Di Jalan Pelepasan
Tak ada yang dibicarakan
Selain ketakutan dan kecemasan.
Jalanan yang sibuk
Trotoar yang hibuk
Menyimpan kisah kita diam-diam.
Bau parfummu masih nempel di kamarku
Mengepung sepi yang ribut di kepalaku.
Tubuhmu diangkut kenangan
Di awal musim dingin
Yang menjatuhkan daun-daunnya di hatiku.
Sementara ladang kita becek oleh masa silam
Yang bikin kita jadi cengeng dan malas pulang.
Mari, istirahatlah sejenak di sini!
Di kalbu kita yang sama olengnya.
Jogja, 2008
Selain ketakutan dan kecemasan.
Jalanan yang sibuk
Trotoar yang hibuk
Menyimpan kisah kita diam-diam.
Bau parfummu masih nempel di kamarku
Mengepung sepi yang ribut di kepalaku.
Tubuhmu diangkut kenangan
Di awal musim dingin
Yang menjatuhkan daun-daunnya di hatiku.
Sementara ladang kita becek oleh masa silam
Yang bikin kita jadi cengeng dan malas pulang.
Mari, istirahatlah sejenak di sini!
Di kalbu kita yang sama olengnya.
Jogja, 2008
Mengukur Bayang
Malam tiba-tiba jadi genit
Menggodaku jadi pemimpi yang frustasi.
Tapi sebentar lagi,
Aku akan kembali.
Mengukur sunyi yang dingin
Dan tubuhku tinggal bayang
Memanjang serupa rambutmu yang hitam.
Aku orang asing
Hidup dalam tumpukan kata-kata.
Dikucilkan segala hal
Segala yang tiba-tiba jadi musuhku.
Sejak dulu
Kita ingin terbebas dari mimpi buruk;
Mimpi makan enak di restoran
Mimpi creambath di salon
Mimpi jadi jutawan.
Sementara aku,
Begitu sulit terbebas darimu
Dari sejarah yang mengadiliku jadi anak tiri
Bagi bangsanya sendiri.
Aku tak ingin jadi kata-kata
Yang dilupakan bahasa ibuku.
Ibu yang setia menanak batu
Di dapur yang kosong.
Ibu yang merebus keringat ayah
Untuk menyeduh kopi tanpa gula
Di pagi hari
Pagi tanpa matahari.
Aku hanya ingin keluar darimu
Dan terbebas dari rayuanmu.
Sanggr Suto, 2008
Menggodaku jadi pemimpi yang frustasi.
Tapi sebentar lagi,
Aku akan kembali.
Mengukur sunyi yang dingin
Dan tubuhku tinggal bayang
Memanjang serupa rambutmu yang hitam.
Aku orang asing
Hidup dalam tumpukan kata-kata.
Dikucilkan segala hal
Segala yang tiba-tiba jadi musuhku.
Sejak dulu
Kita ingin terbebas dari mimpi buruk;
Mimpi makan enak di restoran
Mimpi creambath di salon
Mimpi jadi jutawan.
Sementara aku,
Begitu sulit terbebas darimu
Dari sejarah yang mengadiliku jadi anak tiri
Bagi bangsanya sendiri.
Aku tak ingin jadi kata-kata
Yang dilupakan bahasa ibuku.
Ibu yang setia menanak batu
Di dapur yang kosong.
Ibu yang merebus keringat ayah
Untuk menyeduh kopi tanpa gula
Di pagi hari
Pagi tanpa matahari.
Aku hanya ingin keluar darimu
Dan terbebas dari rayuanmu.
Sanggr Suto, 2008
Stasiun Keberangkatan
Setiap keberangkatan
Akan memulangkan rindu pada puisi.
Pada dirimu yang belati.
Hati dan detak jantungku
Berkejaran dalam resah
Melewati bukit dan kota-kota sepi
Setelah peluit kereta mengusirku pergi
Dari mimpi dan puisi.
Waktu terlalu cepat
Bagi cintaku yang tersesat
Di hatimu. Di rumahmu.
Dan Tuhan adalah rumah berteduh
Bagi setiap yang berpulang.
Di sini,
Aku seperti kehilangan rumah yang lain
Rumah bagi diriku
Yang berpindah ke alamatmu.
Jakarta-Jogja, 2008
Akan memulangkan rindu pada puisi.
Pada dirimu yang belati.
Hati dan detak jantungku
Berkejaran dalam resah
Melewati bukit dan kota-kota sepi
Setelah peluit kereta mengusirku pergi
Dari mimpi dan puisi.
Waktu terlalu cepat
Bagi cintaku yang tersesat
Di hatimu. Di rumahmu.
Dan Tuhan adalah rumah berteduh
Bagi setiap yang berpulang.
Di sini,
Aku seperti kehilangan rumah yang lain
Rumah bagi diriku
Yang berpindah ke alamatmu.
Jakarta-Jogja, 2008
Jakarta, Cinta, Dan Tuhan Yang Puisi
1.
Karena sepi itu puisi.
Maka begitulah kupahami dirimu
Gadis yang tumbuh karena mimpi dan rindu
Tiba-tiba lesap ke kalbuku.
Lupa jalan pulang
Di sebuah kota yang petang.
Maka kupulangkan dirimu
Kaupulangkan diriku
Ke dalam rumah yang teduh.
Dan Tuhan menurunkan keadilan yang puisi
Di pusat kota yang tak pernah lelah mengusir mimpi.
2.
Malam dan waktu terbata-bata di jantungku
Lambat dan menikam perpisahan kelabu
Di setasiun ungu, lampu-lampu ungu,
Kereta ungu, dan orang-orang berwajah ungu.
Aku pergi kau jauh
Resah bertemu dalam rindu yang gaduh.
Kapan mesti kembali
Adalah rahasia paling puisi.
Begitulah kutemukan dirimu
Gadis yang tumbuh oleh mimpi dan rindu
Di antara jerit kesakitan masa lalu
Yang melulu biru.
3.
Begitulah dirimu
Yang ditanam diam-diam di malam ungu.
Dan pagi ini,
Pohon di hatiku sudah berbunga
Boleh kau petik satu
Untuk kauselipkan di telingamu.
Dan jika nanti sudah berbuah
Boleh kau panen semuanya.
Hanya untukmu
Karena semua akan kembali padamu
Pada muasal benih tanahmu.
Jogja, 2008
Karena sepi itu puisi.
Maka begitulah kupahami dirimu
Gadis yang tumbuh karena mimpi dan rindu
Tiba-tiba lesap ke kalbuku.
Lupa jalan pulang
Di sebuah kota yang petang.
Maka kupulangkan dirimu
Kaupulangkan diriku
Ke dalam rumah yang teduh.
Dan Tuhan menurunkan keadilan yang puisi
Di pusat kota yang tak pernah lelah mengusir mimpi.
2.
Malam dan waktu terbata-bata di jantungku
Lambat dan menikam perpisahan kelabu
Di setasiun ungu, lampu-lampu ungu,
Kereta ungu, dan orang-orang berwajah ungu.
Aku pergi kau jauh
Resah bertemu dalam rindu yang gaduh.
Kapan mesti kembali
Adalah rahasia paling puisi.
Begitulah kutemukan dirimu
Gadis yang tumbuh oleh mimpi dan rindu
Di antara jerit kesakitan masa lalu
Yang melulu biru.
3.
Begitulah dirimu
Yang ditanam diam-diam di malam ungu.
Dan pagi ini,
Pohon di hatiku sudah berbunga
Boleh kau petik satu
Untuk kauselipkan di telingamu.
Dan jika nanti sudah berbuah
Boleh kau panen semuanya.
Hanya untukmu
Karena semua akan kembali padamu
Pada muasal benih tanahmu.
Jogja, 2008
Pertapa Tolol
Sudah lama cinta merawatku
Sebagai pertapa tolol.
Dijamuri waktu
Dilumuti sepi yang batu.
Tapi kini rinduku pecah
Menjelma kebosanan lain.
Bagi yang tak biasa
Aku merasa dikecam kangen cubitan bibirmu.
Dari situ aku bisa tahu bekas tattomu
Yang menempel serupa sengat lebah madu.
Bagi yang tak biasa
Cinta selalu buatku lupa
Lupa usia dan rencana.
Ia tak memberiku kesempatan memilih
Menjadikanku pecandu yang ragu
Karena itu aku kerap tersesat di jagat tubuhmu.
Tanpa cahaya
Tanpa warna
Tanpa peta.
Sementara sulur usiaku
Jadi mimpi bagi kebodohanku
Serupa tatto kepompong yang kulukis di dadamu
Sebagai tanda kelelakianku untukmu.
Jakarta, 2008
Sebagai pertapa tolol.
Dijamuri waktu
Dilumuti sepi yang batu.
Tapi kini rinduku pecah
Menjelma kebosanan lain.
Bagi yang tak biasa
Aku merasa dikecam kangen cubitan bibirmu.
Dari situ aku bisa tahu bekas tattomu
Yang menempel serupa sengat lebah madu.
Bagi yang tak biasa
Cinta selalu buatku lupa
Lupa usia dan rencana.
Ia tak memberiku kesempatan memilih
Menjadikanku pecandu yang ragu
Karena itu aku kerap tersesat di jagat tubuhmu.
Tanpa cahaya
Tanpa warna
Tanpa peta.
Sementara sulur usiaku
Jadi mimpi bagi kebodohanku
Serupa tatto kepompong yang kulukis di dadamu
Sebagai tanda kelelakianku untukmu.
Jakarta, 2008
Aku Menyerumu Darma Ayu
Akan tetapi kelak nanti Allah melimpahkan
RakhmatNya yang berlimpah
Darma Ayu kembali makmur,
Tak ada suatu hambatan,
Tandanya,
Jika ada ular menyebrangi Kali Cimanuk,
Sumur kejayaan mengalir deras,
Lampu menyala tanpa minyak,
Semua kembali hidup makmur,
Manunggal dengan prajurit,
Membantu penguasa,
Hidup aman dan tentram,
Semua kembali makmur,
Seluruh negara hidup makmur.*
Pikiranku mengembara,
Menapaki kampung dan sawah-sawah,
Dan kulihat saudara-saudaraku berlari dalam lumpur,
Melewati petak-petak sawah
Seperti selembaran catatan sekolah yang lusuh
Yang dilindas mesin-mesin pemburu.
Di dalam sunyi yang lembab ini
Aku menyerumu, Wiralodra.
Sukmaku mengembara di jalan-jalan
Mencari-cari Nyai Endang Darma Ayu
Dan pada setiap riak Cimanuk aku panggil namamu.
Namun, di tengah jalan kembaraku
Aku disekap segerombolan perampok
Tak lain adalah prajuritmu sendiri.
Tapi aku coba menghindari nasib,
Kembali memburu wangi Nyai Endang Darma Ayu
Berbekal luka golok di dadaku
Yang semakin malam racunnya menjalari tidurku.
Wiralodra, setelah sampai di sebuah desa
Aku mencium bau minyak dari nafas mereka
Kemudian matahari membakar ingatan dan pikiran mereka.
Mereka disekap kepura-puraan
Kuping mereka disumpal kapas
Mulut mereka disumbat bangkai.
Hidup macam apa ini, Wiralodra?
Hidup di tengah-tengah omong kosong
Sungai Cimanuk sudah lama kering
Berganti keringat yang diperas dari kebodohan mereka
Maka, sejak saat itu tak ada ular
Yang menyebrangi sungai Cimanuk
Orang-orang saling curiga
Perempuan lupa rumahnya
Suami lupa istrinya
Anak-anak lupa orangtuanya
Orangtua lupa anaknya
Dan pemimpin lupa rakyatnya.
Wiralodra, aku menyerumu datang
Ke tanahmu yang hampir hilang.
Akan kukawin sukma Nyai Endang Darma Ayu
Kupinang setiap jerit kesakitan mereka
Agar mereka dibangunkan dari tidur panjang
Dan diangkat derajat mereka.
* Prasasti Arya Wiralodra
Sanggar Suto, 2007
RakhmatNya yang berlimpah
Darma Ayu kembali makmur,
Tak ada suatu hambatan,
Tandanya,
Jika ada ular menyebrangi Kali Cimanuk,
Sumur kejayaan mengalir deras,
Lampu menyala tanpa minyak,
Semua kembali hidup makmur,
Manunggal dengan prajurit,
Membantu penguasa,
Hidup aman dan tentram,
Semua kembali makmur,
Seluruh negara hidup makmur.*
Pikiranku mengembara,
Menapaki kampung dan sawah-sawah,
Dan kulihat saudara-saudaraku berlari dalam lumpur,
Melewati petak-petak sawah
Seperti selembaran catatan sekolah yang lusuh
Yang dilindas mesin-mesin pemburu.
Di dalam sunyi yang lembab ini
Aku menyerumu, Wiralodra.
Sukmaku mengembara di jalan-jalan
Mencari-cari Nyai Endang Darma Ayu
Dan pada setiap riak Cimanuk aku panggil namamu.
Namun, di tengah jalan kembaraku
Aku disekap segerombolan perampok
Tak lain adalah prajuritmu sendiri.
Tapi aku coba menghindari nasib,
Kembali memburu wangi Nyai Endang Darma Ayu
Berbekal luka golok di dadaku
Yang semakin malam racunnya menjalari tidurku.
Wiralodra, setelah sampai di sebuah desa
Aku mencium bau minyak dari nafas mereka
Kemudian matahari membakar ingatan dan pikiran mereka.
Mereka disekap kepura-puraan
Kuping mereka disumpal kapas
Mulut mereka disumbat bangkai.
Hidup macam apa ini, Wiralodra?
Hidup di tengah-tengah omong kosong
Sungai Cimanuk sudah lama kering
Berganti keringat yang diperas dari kebodohan mereka
Maka, sejak saat itu tak ada ular
Yang menyebrangi sungai Cimanuk
Orang-orang saling curiga
Perempuan lupa rumahnya
Suami lupa istrinya
Anak-anak lupa orangtuanya
Orangtua lupa anaknya
Dan pemimpin lupa rakyatnya.
Wiralodra, aku menyerumu datang
Ke tanahmu yang hampir hilang.
Akan kukawin sukma Nyai Endang Darma Ayu
Kupinang setiap jerit kesakitan mereka
Agar mereka dibangunkan dari tidur panjang
Dan diangkat derajat mereka.
* Prasasti Arya Wiralodra
Sanggar Suto, 2007
Surat Sederhana Buat Pak Presiden 2
Surat Sederhana Buat Pak Presiden 2
Mudah-mudahan bapak sudah baca
Surat saya yang pertama
Dengan santai dan tanpa gangguan apapun.
Awalnya kukira bapak bercanda
Menaikkan harga Bahan Bakar Minyak,
Tapi ternyata tidak.
Ah, pak,
Kita ini sedang bahaya
Jangan pula ditambah bebannya.
Maka ini kali kedua
Kutulis surat untukmu, pak
Ketika pancaroba menghinggapi bumi kita dan manusianya
Yang apabila sedikit saja bapak salah bicara
Maka akan dianggap gagal untuk selamanya.
Kita sudah melewati begitu panjang perjalanan
Berhenti di persimpangan
Dan tiba-tiba salah jalan
Yang semula kita anggap benar dalam kemungkinan.
Pak, kita tak mau bukan
Dianggap sebagai negeri yang lahir dari kesalahan sejarah?
Sungguh permulaan yang menyedihkan
Tapi tak apa,
Kalau pada akhirnya
Kita bahagia dan sentosa.
Tentu itu masih mimpi, pak
Sudah lama kita mendongeng dalam sejarah
Mendongeng untuk anak cucu bangsa
Mendongeng dalam tidur panjang bangsa
Mendongeng untuk masa depan bangsa
Mendongeng di dalam dongengan anak bangsa.
Lucu ya, pak
Seperti di negeri para kurcaci saja.
Pak, ternyata hari sudah malam
Tak terasa bangsa ini dikutuki sepi terus-menerus
Di tengah gaduh mayat-mayat bernyawa
Yang kekurangan air susu ibu-nya.
Pak, setujukah kalau dibilang
Bangsa ini hidup dalam kematiannya?
Bapak tak perlu menjawabnya sekarang
Tapi kalau boleh saya mohon,
Selambat-lambatnya minggu depan
Itupun kalau bapak tak sibuk.
Bolehkan, pak?
Kami ini cinta bapak
Karena itu kami ingatkan
Ketika ada hal yang dianggap merugikan
Dan tak ada kejelasan.
Inilah bukti cinta besar kami
Bukti kepercayaan kami
Maka tolong, jangan gadaikan kepercayaan kami
Kami sudah lelah di dalam ketidakjelasan ini.
Dan nampaknya,
Saya juga sudah mulai buntu
Untuk menjawab segala pertanyaan tolol
Di kepala saya.
Saya sudahi saja ya, pak?
Salam sayang dari saya.
:)
Bumi Negeri, 2008
Mudah-mudahan bapak sudah baca
Surat saya yang pertama
Dengan santai dan tanpa gangguan apapun.
Awalnya kukira bapak bercanda
Menaikkan harga Bahan Bakar Minyak,
Tapi ternyata tidak.
Ah, pak,
Kita ini sedang bahaya
Jangan pula ditambah bebannya.
Maka ini kali kedua
Kutulis surat untukmu, pak
Ketika pancaroba menghinggapi bumi kita dan manusianya
Yang apabila sedikit saja bapak salah bicara
Maka akan dianggap gagal untuk selamanya.
Kita sudah melewati begitu panjang perjalanan
Berhenti di persimpangan
Dan tiba-tiba salah jalan
Yang semula kita anggap benar dalam kemungkinan.
Pak, kita tak mau bukan
Dianggap sebagai negeri yang lahir dari kesalahan sejarah?
Sungguh permulaan yang menyedihkan
Tapi tak apa,
Kalau pada akhirnya
Kita bahagia dan sentosa.
Tentu itu masih mimpi, pak
Sudah lama kita mendongeng dalam sejarah
Mendongeng untuk anak cucu bangsa
Mendongeng dalam tidur panjang bangsa
Mendongeng untuk masa depan bangsa
Mendongeng di dalam dongengan anak bangsa.
Lucu ya, pak
Seperti di negeri para kurcaci saja.
Pak, ternyata hari sudah malam
Tak terasa bangsa ini dikutuki sepi terus-menerus
Di tengah gaduh mayat-mayat bernyawa
Yang kekurangan air susu ibu-nya.
Pak, setujukah kalau dibilang
Bangsa ini hidup dalam kematiannya?
Bapak tak perlu menjawabnya sekarang
Tapi kalau boleh saya mohon,
Selambat-lambatnya minggu depan
Itupun kalau bapak tak sibuk.
Bolehkan, pak?
Kami ini cinta bapak
Karena itu kami ingatkan
Ketika ada hal yang dianggap merugikan
Dan tak ada kejelasan.
Inilah bukti cinta besar kami
Bukti kepercayaan kami
Maka tolong, jangan gadaikan kepercayaan kami
Kami sudah lelah di dalam ketidakjelasan ini.
Dan nampaknya,
Saya juga sudah mulai buntu
Untuk menjawab segala pertanyaan tolol
Di kepala saya.
Saya sudahi saja ya, pak?
Salam sayang dari saya.
:)
Bumi Negeri, 2008
Surat Sederhana Buat Pak Presiden
Awalnya aku tak begitu yakin
Menulis surat untukmu
Tapi malam terus saja melipat
Gaunnya lambat-lambat
Yang panjang dan membosankan.
Menanti fajar yang masih juga sama
Ketika cahayanya menyeruak wajah bumi
Yang masih diawali dengan cerita itu-itu juga.
Dari kebosanan ini
Aku beranikan diri
Menulis surat di kelam luka sunyi
Hanya untukmu.
Begini pak,
Saya tak begitu mengerti
Apa negeri kita ini kekurangan doa
Begitu kudengar desas-desusnya
Dari berbagai ulama tentang banyaknya bencana.
Saya pun tak begitu mengerti
Apa negeri kita ini kekurangan simpanan
Begitu masih banyak orang-orang kelaparan di jalanan.
Pak, malam yang teramat lambat ini
Mungkin tersangkut di bagian entah di hati kita
Rasanya teramat ganjil untuk ditinggal tidur
Rasanya kurang nyaman untuk tidak ditulis dan dibicarakan.
:
Lihat pak! Masih beruntung anak-anak bisa disekolahkan
Karena orangtua begitu ingin anak mereka diangkat derajatnya
Meski keringat sudah lama kering dan dingin
Tapi mereka terus mencangkul mimpinya
Untuk menanam bibit di tanah ini.
Masih beruntung, Pak
Kita mempunyai bapak dan ibu seperti ini
Masih beruntung mempunyai orangtua
Yang begitu cinta kepada tanah kelahirannya.
Pak, pikiran kita mungkin berbeda
Tapi saya kira hati kita sama,
Hati seluruh negeri yang hampir tergadai kepercayaannya.
Begitulah sekiranya, Pak
Kadang hal kecil memang terlupakan
Tanpa sadar justru itu yang membuat kita bertahan
Untuk belajar percaya dan menuntaskan hidup.
Pak, saya harap setelah menulis surat ini
Setidaknya saya bisa tidur dengan damai
Meski sebenarnya ada sedikit sesuatu
Yang mengganjal di pikiran saya
Tapi saya kira itu tidak bisa diselesaikan malam ini juga.
Salam cinta dari saya.
Bumi Negeri, 29,04, 2007
Menulis surat untukmu
Tapi malam terus saja melipat
Gaunnya lambat-lambat
Yang panjang dan membosankan.
Menanti fajar yang masih juga sama
Ketika cahayanya menyeruak wajah bumi
Yang masih diawali dengan cerita itu-itu juga.
Dari kebosanan ini
Aku beranikan diri
Menulis surat di kelam luka sunyi
Hanya untukmu.
Begini pak,
Saya tak begitu mengerti
Apa negeri kita ini kekurangan doa
Begitu kudengar desas-desusnya
Dari berbagai ulama tentang banyaknya bencana.
Saya pun tak begitu mengerti
Apa negeri kita ini kekurangan simpanan
Begitu masih banyak orang-orang kelaparan di jalanan.
Pak, malam yang teramat lambat ini
Mungkin tersangkut di bagian entah di hati kita
Rasanya teramat ganjil untuk ditinggal tidur
Rasanya kurang nyaman untuk tidak ditulis dan dibicarakan.
:
Lihat pak! Masih beruntung anak-anak bisa disekolahkan
Karena orangtua begitu ingin anak mereka diangkat derajatnya
Meski keringat sudah lama kering dan dingin
Tapi mereka terus mencangkul mimpinya
Untuk menanam bibit di tanah ini.
Masih beruntung, Pak
Kita mempunyai bapak dan ibu seperti ini
Masih beruntung mempunyai orangtua
Yang begitu cinta kepada tanah kelahirannya.
Pak, pikiran kita mungkin berbeda
Tapi saya kira hati kita sama,
Hati seluruh negeri yang hampir tergadai kepercayaannya.
Begitulah sekiranya, Pak
Kadang hal kecil memang terlupakan
Tanpa sadar justru itu yang membuat kita bertahan
Untuk belajar percaya dan menuntaskan hidup.
Pak, saya harap setelah menulis surat ini
Setidaknya saya bisa tidur dengan damai
Meski sebenarnya ada sedikit sesuatu
Yang mengganjal di pikiran saya
Tapi saya kira itu tidak bisa diselesaikan malam ini juga.
Salam cinta dari saya.
Bumi Negeri, 29,04, 2007
Uterus
Untuk mengingatmu
Barangkali tak perlu kubaca gugur daun di halaman
Melihat usia meranggas dari helai-helai rambutmu.
Juga angka kalender kamarku
Yang jatuh di telapak tanganmu.
Aku teringat saat malam sujud dalam gerimis
Pada setiap airmata perempuan
Yang menggadaikan mimpinya
Di pulau-pulau tanpa peta
Tanpa jaminan
Untuk kembali menganak-pinakan
Mimpi yang akan ditebusnya dengan doa dan airmata.
Tapi sudahlah,
Barangkali aku tak akan mengingat itu.
Sudah lama kubingkai tahun-tahun
Dalam fotomu.
Kurasakan bau bumbu di tanganmu
Adalah aroma surga yang pernah kukenal.
Aku ingin kau garuki punggungku yang gatal
Dan berpura-pura tidur di sampingmu.
Aku juga ingin memperlihatkan
Gambar harimau terbaruku.
Lalu katamu:
“Kamu mau menjadi harimau?”
Aku hanya tersenyum dan tak tahu.
Waktu itu,
Alangkah jujurnya senyummu.
Tapi malam ini kau garuki kesepianku
Dan kugambar wajahmu di sebidang kanvas puisi
Lalu waktu merampasnya
Di usiaku yang dewasa.
Bu, usia memang bukan patokan
Untuk menggadaikan kesetiaan
Sebab kematian adalah kehidupan yang lain.
Seperti katamu, segala yang dilahirkan
Pasti akan mengalami kematian
Dan setiap kematian
Akan mengalami kelahiran lain.
Di sini,
Ketika hari patah dalam nafasmu
Segala peristiwa diciptakan
Dari rahimmu yang suci.
Lalu kita diberangkatkan
Oleh kesakitan yang sama
Bersama tangis dan darah.
Sanggar Suto, 2007
Barangkali tak perlu kubaca gugur daun di halaman
Melihat usia meranggas dari helai-helai rambutmu.
Juga angka kalender kamarku
Yang jatuh di telapak tanganmu.
Aku teringat saat malam sujud dalam gerimis
Pada setiap airmata perempuan
Yang menggadaikan mimpinya
Di pulau-pulau tanpa peta
Tanpa jaminan
Untuk kembali menganak-pinakan
Mimpi yang akan ditebusnya dengan doa dan airmata.
Tapi sudahlah,
Barangkali aku tak akan mengingat itu.
Sudah lama kubingkai tahun-tahun
Dalam fotomu.
Kurasakan bau bumbu di tanganmu
Adalah aroma surga yang pernah kukenal.
Aku ingin kau garuki punggungku yang gatal
Dan berpura-pura tidur di sampingmu.
Aku juga ingin memperlihatkan
Gambar harimau terbaruku.
Lalu katamu:
“Kamu mau menjadi harimau?”
Aku hanya tersenyum dan tak tahu.
Waktu itu,
Alangkah jujurnya senyummu.
Tapi malam ini kau garuki kesepianku
Dan kugambar wajahmu di sebidang kanvas puisi
Lalu waktu merampasnya
Di usiaku yang dewasa.
Bu, usia memang bukan patokan
Untuk menggadaikan kesetiaan
Sebab kematian adalah kehidupan yang lain.
Seperti katamu, segala yang dilahirkan
Pasti akan mengalami kematian
Dan setiap kematian
Akan mengalami kelahiran lain.
Di sini,
Ketika hari patah dalam nafasmu
Segala peristiwa diciptakan
Dari rahimmu yang suci.
Lalu kita diberangkatkan
Oleh kesakitan yang sama
Bersama tangis dan darah.
Sanggar Suto, 2007
Sajak Anak Kepada Bapaknya
Aku teringat bapak pulang dari hutan
Membonceng sayur dan buah-buahan.
Waktu itu,
Cahaya senja terpelosok di matanya
Motor butut dan sebilah golok terselip di joknya
Ia sisiri kumandang magrib
Menjauhi senja yang sebentar lagi gelap
: seperti doa yang menempel di punggungnya.
“Bapak memang bodoh, tapi tidak untuk anakku!”
Ia keluarkan asap kretek dari mulutnya
Matanya memutih menatap langit-langit rumah
Makin jauh dari cahaya lampu di atasnya.
“Pak, sudah kukawinkan
mimpiku dan mimpimu di atas sajadah
dan di atas buku-buku yang berdebu”
Kataku. Malam jadi tugu.
Bapakku tak pernah lupa sujud
Sebab baginya Tuhan
Terlalu murah hati untuk ditinggalkan
Itu sebabnya mengapa bapakku
Tak pernah merasa sendiri ditinggal nasib.
Sanggar Suto, 2006
Membonceng sayur dan buah-buahan.
Waktu itu,
Cahaya senja terpelosok di matanya
Motor butut dan sebilah golok terselip di joknya
Ia sisiri kumandang magrib
Menjauhi senja yang sebentar lagi gelap
: seperti doa yang menempel di punggungnya.
“Bapak memang bodoh, tapi tidak untuk anakku!”
Ia keluarkan asap kretek dari mulutnya
Matanya memutih menatap langit-langit rumah
Makin jauh dari cahaya lampu di atasnya.
“Pak, sudah kukawinkan
mimpiku dan mimpimu di atas sajadah
dan di atas buku-buku yang berdebu”
Kataku. Malam jadi tugu.
Bapakku tak pernah lupa sujud
Sebab baginya Tuhan
Terlalu murah hati untuk ditinggalkan
Itu sebabnya mengapa bapakku
Tak pernah merasa sendiri ditinggal nasib.
Sanggar Suto, 2006
Mahligai Kematian
Tuhan telah mengutuk kita turun ke dunia
Sampai maut menceraikan segala yang kita bawa
Seluruhnya
Kecuali nama-nama
Yang sempat tercatat dalam pahala dan dosa.
Kita, sebuah silsilah panjang
Yang akan mengawini kekasih paling nyata
Bernama kematian.
Di sini,
Sebelum kita benar-benar pergi
Telah lama kita siapkan segalanya
Juga kitab-kitab suci yang selalu gagal kita baca.
Di sini,
Kita akan mengenakan gaun paling panjang
Sebagaimana usia yang sudah dikafankan
Di dalam tubuhmu
Di rumah yang dulu mengusir kita
Karena kutukan dosa.
Sanggar Suto, 2007
Sampai maut menceraikan segala yang kita bawa
Seluruhnya
Kecuali nama-nama
Yang sempat tercatat dalam pahala dan dosa.
Kita, sebuah silsilah panjang
Yang akan mengawini kekasih paling nyata
Bernama kematian.
Di sini,
Sebelum kita benar-benar pergi
Telah lama kita siapkan segalanya
Juga kitab-kitab suci yang selalu gagal kita baca.
Di sini,
Kita akan mengenakan gaun paling panjang
Sebagaimana usia yang sudah dikafankan
Di dalam tubuhmu
Di rumah yang dulu mengusir kita
Karena kutukan dosa.
Sanggar Suto, 2007
Langganan:
Postingan (Atom)