Rabu, 07 Januari 2009

Hijib Khafi

Bacalah atas nama Tuhanmu

Bacalah setiap tujuh lapis tubuhmu

Bacalah setiap tujuh lapis hatimu.


Pandanglah gugur daun yang diantarkan angin. Dengan pelan-pelan berucap pada bumi: ”Di sinilah kematian dan kelahiran tumbuh dan binasa.”

Matahari berkemas mengawini bulan. Sementara kita sibuk menghitung isyarat.

Dan tanah berucap lewat tumbuhan: ”Segala yang busuk dan yang baru diciptakan di sini. Tapi orang kerap kali lupa denganku.”


Mimpi kita dikepung malam. Kita terperangkap sepi di sini.

”Hei, kitakah itu yang sibuk menghianati kata-kata atau kata-kata cara berbohong yang sempurna?”

”Bukan kita! Tapi dia. Dialah yang diikuti orang-orang dungu itu!”

”Sama saja! Kita sama-sama penyair. Bukankah setiap penyair diikuti orang-orang yang dungu?”

”Tidak semua. Kita termasuk yang kecuali.”

”Tidak. Kita memang selalu memilih yang baik. Tapi ucapan kita tak sesuai dengan tindakan kita.”

”Bukan kita! Tapi kau! Aku dan kau!”

”Sama saja.”

”Kau selalu menyama-nyamakan.”

”Kau selalu membeda-bedakan.”

”Kau gila!”

”Kau yang gila!”

”Iblis jahannam!”

”Kau yang Iblis jahannam!”

”Bangsat!”

”Bukan! Aku Malaikat.

Dan sepi kembali tiba.


Bacalah atas nama Tuhanmu

Bacalah setiap tujuh lapis tubuhmu

Bacalah setiap tujuh lapis hatimu.


Kita sibuk membenarkan alarm. Membenahi malam yang sobek oleh hujan. Di sini kita pernah bersaksi tentang luka tentang kata-kata yang cerewet di genting rumah. Kemudian puisi setengah masak kita kunyah seperti kita batalkan puasa pada sepertiga hari. Dan segenap ludah kata-kata yang kita hisap kembali.


Kita bicarakan maut. Sebagaimana kebijakan dan kebajikan yang kita teriak-teriakkan. Sebagaimana sebilah sajak yang akan membunuh dan mengalamatkan kematian kita.


Kitalah lelucon kata-kata. Puisi yang tak pernah kenal muasalnya. Berputar dan terus berputar seperti bumi dan galaksi. Seperti saat orang terdahulu memberitakannya.


Bacalah atas nama Tuhanmu

Bacalah setiap tujuh lapis tubuhmu

Bacalah setiap tujuh lapis hatimu.


Mata kita yang palsu menerjemahkan hidup. Sebab hati telah ingkar dari rahimnya. Sebelum tangis pertama meledak di telinga ibu mereka.


”Kitakah yang selalu sibuk menerjemahkan isyarat?”

”Bukan kita. Tapi kau!”

”Sama saja. Kata dan makna yang kita garitkan di dada telah lenyap. Sebagaimana tanah yang telah melahirkan kita lewat lorong para ibu. Seperti bahasanya yang ditulis tumbuhan.”

”Itu kau!”

”Kau selalu menghindar.”

”Tak ada kata yang kutulis tanpa makna.”

”Kau benar. Tapi jika makna sudah tak berkata, apa masih disebut makna?”

”Masih.”

”Makna yang berbohong pada rahimnya.”

”Diam! Kau selalu menyudutkanku.”

”Tidak! Aku membenarkanmu.”


Bacalah atas nama Tuhanmu

Bacalah setiap tujuh lapis tubuhmu

Bacalah setiap tujuh lapis hatimu.


Masih adakah ke-ber-ada-an setelah kita tiada? Kitalah saksi pertama dari kehidupan. Kitalah saksi dari keberadaan: yang tumbuh lalu menguncup, setelah kuncup lalu mekar, setelah mekar lalu gugur, setelah gugur dan menguncup lagi, mekar lagi, gugur lagi, dan seperti hari-hari yang sebenarnya membuat kita terpencil dari kenyataan.


Bacalah atas nama Tuhanmu

Bacalah setiap tujuh lapis tubuhmu

Bacalah setiap tujuh lapis hatimu.


Kemanakah hilangnya hari kemarin? Ketika pertama matahari memecah jendela mata kita yang masih lekat dengan sisa-sisa mimpi semalam—kemanakah ruh kita mengembara?— kemanakah kesadaran kita ketika tidur? Ketika kita pun mengabur pada batas ruang dan waktu.


Bacalah atas nama Tuhanmu

Bacalah setiap tujuh lapis tubuhmu

Bacalah setiap tujuh lapis hatimu.


Isyarat apa yang kita siratkan sedang kita sendiri tak kenal isyarat yang diberitakan jantung: menghirup dan mengeluarkannya lagi. Berputar seperti bumi dan galaksi. Seperti tasbih yang kita putar setiap hari.


Kita rasakan udara keluar-masuk dari tubuh. Meninggalkan jejak kembara. Kelak kita merasakannya, saat tulang kita mulai bungkuk karena banyak menampung kisah yang basah oleh hujan dan kemarau yang mengeringkan usia kita di musim yang lalu. Dan mimpi kita yang pasang, ditarik ombak ke tengah laut yang fana.


Kita berharap ada perahu yang menyambangi gelombang kata-kata yang pecah di perahu kita. Tapi semua mengapung sempurna. Pada saat seperti itu, kau ingin tambatkan perahumu ke daratan.

”Bukan kau! Tapi kita”

”Tapi ini kau?!”

”Ini kita.”

”Kau selalu memilih yang enak-enak saja.”

”Dan kau selalu menyudutkanku!”

”Itu tidak benar!”

”Itu yang selalu terjadi.”

”Karena aku lebih dekat dari pikiranmu sendiri.”

Dan pada saat seperti itu, semua orang sibuk dengan layang-layangnya di bibir pantai.

Bacalah atas nama Tuhanmu

Bacalah setiap tujuh lapis tubuhmu

Bacalah setiap tujuh lapis hatimu.


Pernahkah kita meyakini suatu kebenaran yang nyatanya salah? Mungkinkah mata mengajarkan kebohongan? Hati yang kita garitkan dalam puisi ternyata merekam kepalsuan lain pada keterbatasan jarak di pupil mata kita. Maka kita baca malam dan siang pada tebaran cahaya dan kumpulan gelap adalah kita bermukim di dalamnya. Menyerupai batu yang berlumut dirayapi hujan dan udara. Dan cuaca yang mangkir di hati kita.


Sanggar Suto, 5 februari 2007

Tidak ada komentar: